ATXUKALE — Dalam demokrasi, pemilihan kepala daerah harus menjadi ajang perlombaan ide bukan uang. Namun, kenyataan politik di Indonesia terus menunjukkan bahwa politik uang, atau politik uang, terus mengganggu integritas pemilu.
Preseden yang mengecewakan telah dibuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus sengketa Pilkada Bangka Barat 2024, di mana hanya meminta Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk tidak mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang. Untuk menjaga integritas dan integritas demokrasi, MK seharusnya lebih tegas dengan mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti membeli suara.
Politik uang bukan sekadar pelanggaran administrasi atau pelanggaran moral dalam kontestasi politik; itu adalah kejahatan terhadap demokrasi. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, praktik politik uang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dapat menjadi dasar pembatalan calon.
Fakta bahwa MK telah mendiskualifikasi calon kepala daerah yang terbukti melakukan politik uang dalam beberapa kasus sebelumnya, seperti dalam kasus Pilkada Mahakam Ulu. Oleh karena itu, ketidakkonsistenan dalam penerapan sanksi terhadap mereka yang terlibat dalam politik uang, seperti yang terjadi di Bangka Barat, menimbulkan pertanyaan besar apakah hukum itu adil untuk semua atau hanya tajam ke atas dan tumpul ke bawah?
Membuka Ruang Pelanggaran Serupa
Keputusan MK yang hanya membatalkan hasil pemilihan tanpa mendiskualifikasi pasangan calon memungkinkan pelanggaran serupa terjadi di masa depan. Logikanya sederhana: jika PSU adalah satu-satunya yang dapat dikenakan hukuman maksimal, kandidat dengan kekayaan besar tetap dapat menggunakan politik keuangan sebagai taktik. Dalam keadaan terburuk, mereka hanya akan diminta untuk mengulang pemilihan tanpa kehilangan peluang untuk mempertahankan perjuangan mereka. Hal ini merusak etika demokrasi dan mendorong politik transaksional.
MK telah menunjukkan dalam beberapa keputusan sebelumnya bahwa politik uang dapat digunakan sebagai alasan kuat untuk mendiskualifikasi pasangan calon. Untuk menentukan seberapa serius pelanggaran politik uang, MK menggunakan kriteria TSM, yang mencakup tiga elemen utama: perencanaan yang matang, keterlibatan kolektif dalam aparat struktural, dan dampak yang luas terhadap hasil pemilihan. Seharusnya MK membuat keputusan yang lebih tegas dengan menjatuhkan sanksi diskualifikasi jika terbukti ada politik uang dalam skala TSM di Bangka Barat.
Peran Bawaslu
Sebaliknya, tugas pengawas pemilu Bawaslu juga menjadi perhatian. Politik uang seharusnya dihindari sejak awal jika Bawaslu benar-benar melakukan tugasnya dengan maksimal. Sayangnya, pengawasan biasanya lemah atau bahkan terkesan pembiaran.
Oleh karena itu, tidak hanya diperlukan agar MK tetap teguh dalam menjatuhkan sanksi diskualifikasi, tetapi juga diperlukan penguatan peran Bawaslu dalam mengidentifikasi dan menindaklanjuti praktik politik uang sejak dini. Selain itu, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat harus lebih intens agar pemilih tidak mudah terpengaruh oleh uang yang mempengaruhi pilihan politik mereka.
Selain diskualifikasi, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang juga harus diperkuat dengan sanksi pidana yang lebih berat. Saat ini, regulasi yang ada masih terkesan longgar dan tidak memberikan efek jera yang cukup. Jika praktik politik uang terus dibiarkan dengan sanksi yang lemah, maka demokrasi akan semakin jauh dari prinsip kejujuran dan keadilan.
Kesimpulannya, MK seharusnya lebih tegas dalam menghadapi kasus politik uang dalam pilkada, terutama yang terbukti dilakukan secara TSM. Diskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
Politik uang semakin dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” dalam setiap kontestasi politik, terutama jika hukum terus menerapkan standar ganda dalam penanganan pelanggaran pemilu. MK memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih adalah hasil dari proses demokrasi murni, bukan hasil dari jual beli suara.
SUMBER DETIKNEWS.COM : Sengketa Pilkada, Ketegasan MK, dan Peran Bawaslu